Kamis, 30 Juni 2011

sayyid ahmad khan

PERINTIS MODERNISME DI DUNIA ISLAM
SAYYID AHMAD KHAN
Oleh: Ferina Valentin[*]
“Islam adalah agama yang paling sesuai dengan hukum alam, karena hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan Al-Qur’an adalah firman-Nya sudah tentu keduanya seiring sejalan dan tidak ada pertentangan”

A. Pendahuluan
Kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, terutama sesudah pembukaan abad ke-19, yang dalam sejarah Islam dipandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia Barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru itu.[1]
Sebagai halnya di Barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyelesaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi modern itu dengan jalan demikian pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap akan dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.[2] Di India,[3] pemikiran dan gerakan pembaharuan rasional terlambat setengah abad dari di Turki dan Mesir. Kontak umat Islam India dengan kebudayaan Barat melalui Inggris terutama terjadi pada pertengahan kedua abad ke-19. Pemberontakan 1857[4] terhadap Inggris Pecah. Sebagai akibatnya kerajaan Mughal dihancurkan dan Delhi jatuh ke tangan Inggris.[5]
Pemimpin yang muncul untuk membela umat Islam dari permusuhan Inggris adalah Sayyid Ahmad Khan (1817-1897). Ia seorang ulama yang sudah mengenal pemikiran dan ilmu pengetahuan Barat. Ia berpendapat, kemunduran dan kelemahan umat Islam India bisa diatasi hanya dengan mengambil alih metode berpikir ilmu-pengetahuan Barat.[6]
Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa peninggkatan kedudukan umat Islam India, dapat di wujudkan hanya dengan Inggris. Inggris telah merupakan penguasa yang terkuat di India, dan menentang kekuasaan itu tidak akan membawa kebaikan bagi umat Islam India. Hal ini akan membuat mereka tetap mundur dan akhirnya akan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindu India.[7]
Sayyid Ahmad Khan berusaha menyakinkan pihak Inggris bahwa dalam pemberontakan 1857, umat Islam tidak memainkan peranan utama. Dalam pada itu ia mengakui bahwa golongan Islam yang turut dalm pemberontakan 1857 ada yang melakukan perbuata-perbuatan tidak baik dan tercela, dan perbuatan-perbuatan itu ia cap sebagai perbuatan kriminal. Tetapi kalau hanya segolongan umat Islam yang bersalah tidaklah pada tempatnya untuk menganggap semua umat Islam India bersalah. Tidak pada tempatnya pihak Inggris menaruh rasa curiga terhadap umat Islam India.[8]
Sayyid Ahmad Khan termasuk pembaharu agama di India, selain tokoh yang sangat sukses dalam pendidikn dan pengajaran di dunia Islam pada abad ke-19. Dia berpendapat seperti halnya pendapat Muhammad Abduh di Mesir “bahwa penjajah Inggris di Negerinya merupakan musuh orang-orang yang terhormat yang menggunakan akalnya”[9].  Ia juga berpendapat, akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalm al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, ia menganut paham Qadariah yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Ia juga percaya pada adanya sunnatullah, hokum alam ciptaaan Tuhan yang dapat berubah-ubah.[10]
Dia mencanangkan penyebaran ilmu pengetahuan dan pencerahan pemikiran bangsanya untuk kepentingan penjajah dan kepentingan orang-orang yang dijajah secara bersamaan. Apabila secara perlahan umat telah matang, kondisi seperti itu akan memungkinkan mereka menuntut kemerdekaan dan pengembalian hak-haknya secara utuh. Tidak kemerdekaan[11] untuk orang bodoh dan dungu, dan tidak juga untuk orang yang terbelakang dan mundur.
Jalan pikirannya ini tampak sekali dengan nyata pada sebagian ucapan-ucapannya, katanya:
“Kaum Muslimin harus bersedia menerima peradaban ini (Barat) secara keseluruhannya, hingga di mata bangsa-bangsa yang telah maju mereka tidak dipandang hina lagi, sebaliknya dimasukkan dalam golongan bangsa-bangsa yang telah maju dan terpelajar!”[12]

Pola pemikirannya, umat Islam India harus bekerja sama dengan Inggris yang saat itu masih memegang kekuasaan penuh untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi. Umat Islam India menentang pemerintahan Inggris yang akan membuat kehancuran dan kemunduran dan akhirnya akan ketinggalan dari masyarakat Hindu. Umat Islam harus mampu mengejar kelemahan-kelemahannya untuk mempelajari ilmu-ilmu teknologi dari Barat termasuk Inggris.[13]
Selama di tahan di India, Jamaluddin al-Afghani (1838-1897) berkenalan dengan Sayyid Ahmad Khan dan dalam majalah al-Urwah al-Wusqa ia mengatakan:
“Para penguasa Inggris melihat dalam diri Sayyid Ahmad Khan satu alat yang berguna dalam mematahkan semangat kaum Muslimin. Karena itulah penguasa Inggris menyunjung dan menghormatinya serta membantu Sayyid Ahmad Khan dalam membangun satu perguruan di Aligarh da dinamakannya sebagai perguruan Musli. Sikap mereka itu dapat dikatakan sebagai suatu perangkap untuk menjebak anak-anaknya, para pengikut agama serta menyebarkan ide-ide kekafiran diantara kaum Muslimin. Materialis seperti Sayyid Ahmad Khan bahkan lebih jelek bila dibandingkan dengan materialisnya orang-orang Barat yang telah meninggalkan agama mereka, namun mereka itu masih tetap berpegang teguh pada jiwa patriotismenya dan tak surut satu pun usaha mereka itu dalam mempertahankan tanah airnya. Tetapi Sayyid Ahmad Khan dan teman-temannya mewakili suatu kelompok di mana kelaliman asing itu sebagai hal yang dapat diterima.”[14]

Sayyid Ahmad Khan termasuk salah seorang yang memiliki jasa besar terhadap bahasa Urdu. Sebelumnya bahas Urdu adalah bahasa yang ketinggalan zaman, tidak ada isinya, dan memadai untuk membahasa berbagai kajian ilmiah dan topok-topik modern lainnya. Dia bekerja keras untuk meningkatkan kemampuan bahasa ini menjadi alat dalam pembahasan topic-topik tersebut. Dia membuat istilah-istilah yang memudahkan kerja para pengarang dalam bidang politik, sosial, dan lain-lainnya; meskipun harus berkorban menempatkan pola yang dibuat-buat tetapi tetap mempertahankan kekuatan, kelancaran, dan kejernihan bahasanya, serta memperluas makna-makna yang dikandungnya.[15]

B. Riwayat Hidup Sayyid Ahmad Khan
Sayyid[16] Ahmad Khan Ibnul Muttaqi Ibnul Hadi al-Hasani ad-Dahlawi[17] lahir di Delhi pada tanggal 17 Oktober 1817.[18] Menurut keterangan bahwa Sayyid Ahmad Khan berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad melalui Fatimah dan Ali.[19] Ayah Sayyid Ahmad Khan bernama Mir Muttaqi adalah seorang pemimpin agama, tetapi karena keturunan Sayyid maka ia juga memperoleh Pengaruh besar dan juga sangat di hormati oleh raja Mughal pada waktu itu, Akbar Syah II.[20] . Neneknya Sayyid Hadi, adalah pembesar Istana dizaman Alamghir II (1754-1759).
Pada waktu Sayyid Ahmad Khan lahir, bapaknya membawa dia kepada Syaikh Ghulam Ali dan memberikan nama Ahmad, apada waktu anak itu mulai besar samapai kepada umur pergi ke sekolah, pertama ia di bawa kepada Syaikh Ghulam Ali, yang mengajarnya huruf Arab. Pada waktu kecilnya Sayyid Ahmad Khan seringkali dibawa oleh ayahnya kepada Syaikh itu dengan mnunjukkan kecintaan yang mendalam kepadanya dan dengan gembira bermain-main dengan segala kelucuannya.[21]
Dalam suasana sangat agamis yang meliputi ayahnya dan “Eyang Wali” Syah Ghulam Ali, Sayyid Ahmad Khan berkembang dengan sangat taat pada agama yang menandai selama hidupnya. Untuk pemahamannya secara mendalam tentang masalah-masalah kenegaraan dan hubungan pertamanya dengan pengetahuan dan peradaban Barat, ia berhutang budi pada kakeknya dari pihak ibunya, Khwaja Fariduddin,[22] yang selama delapan tahun menjadi perdana Menteri di Istana Mughal. Khawaja Fariduddi, yang pengaruhnya pada Sayyid Ahmad Khan tidak perlu terlalu dilebih-lebihkan, merupakan orang yang luar biasa dalam beberapa hal.[23]
Khwaja Fariduddin meninggal dunia waktu Sayyid Ahmad Khan masih kanak-kanak. Tetapi pengaruh yang ia tanam dalam membentuk adat kebiasaan dan watak cucu yang cemerleng itu bukanlah kecil. Karena Bapak Sayyid Ahmad Khan seorang pemimpin agama, ia sendiri dan ibunya hidup di rumah kakek dari pihak ibu, dan anak yang cerdik itu melihat dari dekat kehidupan sehari-hari latar belakang sosial dan politik dari seorang Menteri Mugal. Di kemudian hari, ia menulis biografi Khwaja Fariduddin, yang bukan hany menunjukkan hormat yang luar biasa kepada kakeknya, tetapi juga sedikit tersirat adanya suasana kebahagiaan, kedisiplinan dan kebersihan di masa Sayyid Ahmad Khan menghabiskan hari-hari kecilnya.[24]
Sejak kecil,[25] Sayyid Ahmad Khan mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama. Dia belajar bahasa Arab dan juga bahasa Persia. Ia adalah pemuda yang rajin membaca dan menulis, membaca dan memperluas pengetahuan, berbagai pengetahuan yang telah ia pelajari antara lain: retorika, filsafat, dan astronomi.[26]Dan masa kecil Sayyid Ahmad Khan dilalui dalam kesenangan dan kecukupan, tetapi dengan wafat kakeknya, kekayaan keluarganya mulai menurun. Pada 1838 ayahnya meninggal dan keuntunggan hasil tanah yang diperuntukkan baginya oleh pemerintah mulai hilang atau mulai dikurangi.[27] Sayyid Ahmad Khan yang masih muda itu mulai mencari penghidupannya sendiri. Pertama-tama ia harus puas mendapat pegangangkatan sebagai juru tulis tingkat rendahan, tetapi segera ia diangkat sebagai Munsif (Wakil Hakim), dan pada tahun 1841 ditempatkan sebagai Munsif  di kota yang bersejarah Fatihpur Sikri.[28]
Ketika ia berusia 29 tahun ia memperdalam pengetahuan keagamaan yang ia pelajarinya dengan setengah-setengah sewaktu masa mudanya. Untuk mengejar ketinggalan tersebut ia belajar di bawah asuhan ulama terkenal pada waktu itu. Dalam waktu senggang ia sering menulis risalah agama, seperti biografi Nabi, yang meskipun jika dibandingkan dengan hasil-hasil karya kaum ortodoks lainnya tidaklah berharga, baik dari isinya maupun gaya literatur yang dipakainya. [29]
Pada tahun 1846 kakak Sayyid Ahmad Khan[30] meninggal dunia, dan agar dapat memperhatikan urusan-urusan keluarga, ia minta untuk dipindahkan bekerja ke Delhi, dan ia menetap di sana sejak tahun 1846 hingga 1854.[31] Di kota Delhi inilah ia dapat melihat langsung peninggalan-peninggalan kejayaan Islam dan bergaul dengan tokoh-tokoh dan pemuka muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan, Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin. [32]  Semasa di Delhi, ia mulai mengarang. Karya pertamanya adalah Asar As-Sanadid . Pada tahun 1855, ia pindah ke Bijnore. Di tempat ini, ia tetap mengarang buku-buku penting Islam di India.[33]
Pada tahun 1857 Sayyid Ahmad Khan genap berusia 40 tahun. Di antara umur tersebut, hampir 20 tahun lamanya, ia bekerja di pengadilan dan terkenal sebagai pejabat negeri yang adil dan cakap, di samping sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan yang menghabiskan waktu senggangnya dalam kegiatan ilmiah.[34] Namun pada tahun 1857 itu ada satu fase baru dari kepribadiannya yang serba-serbi itu terungkap. Pada waktu itu kekacauan politik besar terjadi, yang dimulai dengan pemberontakan dari beberapa kesatuan Angkatan Darat India yang kemudian merambah pada penduduk sipil, dan itu menjadi suatu kejadian yang tidak bisa dielakkan bagi rakyat biasa yang tunduk dan patuh untuk berpihak pada konflik yang berdarah itu.[35]
Sayyid Ahmad Khan mengadakan perlawatan ke Inggris pada awal April tahun 1869, maka ialah Muslim India pertama yang mengunjungi kepulauan Britania pada permulaan masa kebangkitan itu. Ketika itu terusan Suez sedang digali[36], dan Sayyid Ahmad Khan sempat berjumpa dengan perencanaan dan pengawas pembuatannya, yaitu Insinyur Perancis yang terkenal Monsieur Ferdinand de Lesseps yang kebetulan ketika itu sama-sama berlayar dengan dia. Sayyid Ahmad Khan mendapat sambutan luarbiasa di London. Ia tinggal di sana selama 17 bulan, jadi seorang tamu dan pengunjung yang dihormati serta diagungkan, seorang sahabat baik di tengah-tengah bangsa Inggris yang mulia. Ia mengahadiri jamuan kerajaan yang mewah, pesta-pesta golongan aristocrat yang melambangkan peradaban Eropa, moral pihak penguasa dan etiket-etiket golongan bangsawan dalam rupa yang semegah-megahnya; beroleh bintang kerajaan dab gelar bangsawan, sempat menghadap ratu, putera mahkota dan para menteri, dan dipilih sebagai anggota kehormatan dalam perkumpulan-perkumpulan keilmuan yang berkedudukan tinggi, serta ikut menghadiri pesta pertemuan Insinyur-insinyur besar, meninjau rencana serta lngkah-langkah kemajuan yang telah dilalui Negara dalam masa belakangan, yang telah menimbulkan revolusi dan perubahan dalam undang-undang dan susunan Negara memungkinkannya meluaskan pengaruh dan kekuasaan, baik di bidang pemikiran maupun politik.[37]
Tahun-tahun terakhir kehidupan Sir Sayyid Ahmad Khan diliputi tragedi-tragedi pribadi, tetapi kerjanya untuk perguruan Tinggi dan rakyatnya terus berlangsung hingga akhir hayatnya. Delapan hari sebelum meninggal, ia sekali lagi menulis artikel mendukung penggunaan bahasa Urdu dalam pertentangan antara bahasa Hindi dan Urdu yang muncul kembali. Dan setelah itu juga masih menulis artikel membela Nabi Muhammad. Akhirnya Sayyid Ahmad Khan sakit pada tanggal 24 Maret 1898, dan dua hari kemudian dengan berkomat-kamit membaca ayat-ayat Al-Qur’an, ia meninggal dunia.[38]
Setelah Sayid Ahmad Khan meninggal dunia, para pengikutnya sebagian ada yang meneruskan perjuangan gerakan mujahidin, sebagiannya lagi lebih memilih cari cara damai dan moderat mengadakan dengan Inggris yaitu dengan membuka lebih luas lapangan pendidikan. Mereka dari lapangan kedua inilah kemudian mendirikan sejumlah lembaga pendidikan tinggi atau universitas. Mereka selalu berusaha memajukan rakyat India secara umum juga memajukan umat Islam di bidang penguasaan iptek. Selain tentu saja lapangan agama semakin digalakkan pengkajiannya.[39]

C. Pembaharuan Sayyid Ahmad Khan: Bidang Politik
Pada tahun 1857, di India pemberontakan antara penduduk India yang beragama Hindu dan kelompok Mujahiddin. Peristiwa 1857 ini dalam sejarah India dikenal dengan nama pemberontakan 1857. Pemberontakan ini sebenarnya diawali oleh kelompok Sikh Hindu yang merasa kekuatan dan pengaruhnya mulai berkurang, karena gencarnya dakwah Islam yang dipelopori oleh kelompok Mujahiddin yang berhasil mengangkat Bahadursyah sebagai raja dengan cara masuk menjadi anggota pasukan militer Inggris. Pemberontakan ini mengalami kegagalan, dan para pemimpin Mujahiddin yang tertangkap kemudian dibuang. Di pihak Inggris, Islamlah yang dianggap pemicu sehingga Inggris berusaha menghancurkan orang Muslim, dan sebagai alasannya adalah disebabkan karena Bahadur Syah turut serta dalam pemberontakan.[40]
Dalam peristiwa pemberontakan ini, Sayyid Ahmad Khan, mengambil posisi pada pihak Inggris, dengan tujuan memberi penjelasan bahwa sebenarnya orang-orang Islam bukanlah pencetus dari peristiwa tersebut. Bukti keberpihakan Sayyid Ahmad Khan terhadap Inggris adalah membebaskan pasukan Inggris yang ditawan pasukan sisa-sisa Mujahiddin. Sikap yang ditetapkan oleh Sayyid Ahmad Khan ini secara lansung membawa hasil yang baik bagi orang Islam. Penguasa Inggris yang pada awalnya memihak dan terhasut oleh orang-orang Hindu bisa menjadi simpati terhadap orang Islam, bahkan Sayyid Ahmad Khan diberi gelar penghormatan dan kedudukan oleh penguasa Inggris. Peranan yang dimainkan oleh Sayyid Ahmad Khan ini dilakukan atas dasar suatu kesadaran politik bahwa India (khususnya umat Islam) tidak akan mampu berhadapan dengan kekuatan Inggris. Oleh karena itu, India harus berhadapan dengan kekuatan Inggris. Oleh karena itu, India harus memperlakukan Inggris sebagai mitra dalam upaya menjalin kerja sama untuk tujuan-tujuan yang lebih luas demi kepentingan India sendiri. Peranan ini berhasil ia mainkan dan ia mampu mengubah pandangan Inggris terhadap umat Islam. Ia bahkan menyatakan bahwa pemerintah Inggris adalah pemerintah yang sah, yang didalamnya orang Islam bisa hidup damai.[41]
Di masa pemberontakan 1857 ia banyak berusaha untuk mencegah terjadinya kekerasan dan dengan demikian banyak menolong orang Inggris dari pembunuhan. Pihak Inggris menggangap ia telah banyak berjasa bagi mereka dan ingin membalas jasanya tetapi hadiah yang dianugerahkan Inggris kepadanya dapat ia tolak. Gelar Sir yang kemudian diberikan kepadanya dapat ia terima. Hubungannya dengan pihak Inggris menjadi baik dan ini ia pergunakan untuk kepentingan umat Islam India. [42]
Ia berusaha menyakinkan pihak Inggris bahwa dalam pemberontakan 1857, umat Islam tidak memainkan peranan utama. Untuk itu ia keluarkan pamflet yang mengandung penjelasan tentang hal-hal yang membawa pada pecahnya pemberontakan 1857. Di antara sebab-sebab yang ia sebut adalah yang berikut:[43]
1.      Intervensi Inggris dalam soal keagamaan, seperti pendidikan agama Kristen yang diberikan kepada yatim piatu di panti-panti yang diasuh oleh orang Inggris, pembentukan sekolah-sekolah misi Kristen, dan penghapusan pendidikan agama dari perguruan-perguruan tinggi.
2.      Tidak turut sertanya orang-orang India, baik Islam maupun Hindu, dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat, hal yang membawa kepada:
a.       Rakyat India tidak mengetahui tujuan dan niat Inggris, mereka anggap Inggris datang untuk meroboh agama mereka menjadi Kristen.
b.      Pemerintah Inggris tidak mengetahui keluhan-keluhan rakyat India.
3.      Pemerintah Inggris tidak berusaha mengikat tali persahabatan dengan rakyat India, sedang kestabilan dalam pemerintahan bergantung pada hubungan baik dengan rakyat. Sikap tidak menghargai dan tidak menghormati rakyat India, membawa kepada akibat yang tidak baik.

Sikap politik[44] Sayyid Ahmad Khan juga ditampilkan dalam penulisan buku yang berkaitan dengan pemberontakan 1857 dalam dua buah buku, yaitu:
1.      Terikh Sarkhasi Bijnaur (1858) yang berisi catatan kronologis peristiwa perang 1957 yang terjadi di Bijnaur.
2.      Asbab Baghawat Hind yang berisi latar belakang terjadinya peristiwa 1857.[45]
Sayyid Ahmad Khan menganjurkan agar umat Islam jangan turut campur dalam partai kongres India yang dibentuk pada tahun 1885. Bermain politik akan merugikan mereka sendiri. Perbaikan posisi umat Islam akan dapat dicapai bukan dengan melalui jalan politik, tetapi melalui pendidikan. Menjalin hubungan dengan Inggris akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan orang Hindu.[46]
Pemberontakan di Bijnore tersebut memberikan kepada Sayyid Ahmad Khan suatu kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya menguasai manusia. Tetapi lebih dari itu, pemberontakan besar itu pertama-tama memberikan kepada dia jangkauan untuk menunjukkan kualitas kenegarawananya, keberaniannya dan pandangan politik yang jauh yang ia warisi dari kakeknya. Segera setelah pulih kembali, seusai pemberontakan besar, bahkan seakan apinya sama sekali padam, ia menulis suatu buku “The Causes of the Indian Revolt” (sebab-sebab pemberontakan India) yang menempati posisi yang unik dalam literatur politik India.[47]
Sayyid Ahmad Khan dengan tegas mengkritik undang-undang yang membolehkan menarik pajak dari tanah-tanah perdikan yang diberikan pemerintah pada masa lalu, sebagai”sangat serakah”. Ia menulis:
“Rakyat melihat bahwa pemerintah bukan hanya tidak berbuat apa-apa untuk mereka, tetapi bahkan menghapus apa yang pemerintah yang dudlu melakukannya.”[48]

Ia juga mengeluh mengenai tidak adanya pergaulan antara orang Inggris dan sebagian orang India. “Tidak ada komunikasi yang sebenarnya antara yan memerintah dan yang diperintah, tidak ada hidup bersama atau kedekatan antara satu dengan yang lai, sebagaimana hal itu merupakan kebiasaan bagi orang-orang Muslim di Negara-negara yang berada di bawah kekuasaan mereka”. Ia menjelaskan bahwa, “adalah kewajiban pemerintah untuk berusaha dan merebut persahabatan dari rakyatnya, dan bukan bagi rakyat untuk berusaha dan merebut persahabatan dari pemerintah”. Ia menambahkan, “Sekarang ini pemerintahan Inggris sudah berkuasa lebih dari satu abad, namun hingga sekarang ini dia tidak meperoleh kecintaan dari rakyatnya”.[49]
Sekarang Sayyid Ahmad Khan merupakan pemimpin umat Muslim India yang tidak dapat dibantah lagi dan merupakan tokoh nasional besar. Pada 1878 Lord Lytton memilihnya menjadi anggota Imperial Legislatif Council (Dewan Legislatif Kerajaan),[50] dan setelah habis periode pengangkatannya diperbarui lagi oleh Lord Ripon, tetapi tidak antara lama ia meletakkan jabatan karena banyaknya pekerjaan di Perguruan Tinggi Aligarh, Lord Ripon mengangkatnya dalam Educational Commission (Komisi Pendidikan), tetapi ia juga harus meninggalkan ini, dan tempatnya diduduki oleh anakny, Sayyid Mahmud. Pada 1887 Lord Duffrin mengangkat Sayyid Ahmad Khan pada Public Service Commission (Komisi Pelayanan Masyarakat) dan pada tahun berikutnya ia dianugerahi gelar kesatria (Sir).[51]

D. Pembaharuan Sayyid Ahmad Khan: Bidang Keagamaan
Menurut Sayyid Ahmad Khan, umat Islam India sangat terbelakang, terutama jika di hadapkan kepada perkembangan peradaban baru di Barat. Dasar peradaban baru ini adalah ilmu-pengetahuan dan teknologi. Demikian pendapat Sayyid Ahmad Khan, dan sebagaimana beberapa pembaharu di belahan dunia lain (Mesir dan Turki) dia pun berpendapat bahwa untuk mengejar ketertinggalan itu umat Islam harus menghidupkan kembali pemikiran rasional agamis zaman klasik, dengan demikian yang besar pada sains dan teknologi.[52]
Menurutnya, agama Islam secara gemilang memberikan justifikasi pada dirinya sendiri menurut akal yang menjadi standar yang lebih tinggi, sehingga Sayyid Ahmad Khan pun bertitik tolak pada suatu bentuk rasionalisme barat, dan hasilnya tidak lebih merupakan penafsiran Islam yang bersifat pribadi daripada suatu usaha untuk mengintegrasikan serangkaian ide-ide tertentu ke dalam Islam dibandingkan melakukan perumusan kembali Islam. Menurutnya, ajaran agama mampu menyentuh kehidupan dan sikap umat yang konkret.[53]
Masyarakat manusia senantiasa mengalami perubahan dan oleh karena itu perlu diadakan Ijtihad[54] baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan suasana masyarakat yang berubah itu. Dalam mengadakan Ijtihad, Ijma’ dan Qiyas baginya tidak merupakan sumber ajaran Islam yang bersifat absolut.[55] Hadits juga tidak semuanya dapat diterimanya, karena ada hadits-hadits buatan. Hadits dapat ia terima sebagai sumber hanya setelah diadakan penelitian yang seksama tentang keasliannya.
Kriteria kebenaran agama, menurut Sayyid Ahmad Khan, adalah sesuai dengan norma-norma akal alami.[56] Oleh karena itu di dalam menafsirkan Al-Qur’an, cerita-cerita mukjizati atau luar biasa harus diinterprestasikan dengan suatu yang sesuai dengan norma-norma tersebut dengan kata lain, secara naturalistik. Sumber-sumber kepercayaan dan praktek keagamaan yang lain, seperti Sunnah dan Ijma’ ditolak dan nas Al-Qur’an, khususnya surah-surah Makkiyah, menjadi basis moralitas dan spiritualitas yang benar-benar cocok dengan akal dan tabiat alam (dari sinilah nama nechari yaitu kaum naturalis diambil). Menurut hematnya, kepercayaan dan praktek apa pun yang terbukti tidak cocok dengan moralitas ini harus ditolak, seperti peperangan, perbudakan dan penaklukan kaum wanita.[57]
Keyakinan kekuatan dan kebebasan akal menjadikan Sayyid Ahmad Khan percaya bahwa manusia bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan ini berarti bahwa ia mempunyai faham yang sama dengan faham Qadariyah. Menurutnya, manusia telah dianugerahkan Tuhan berbagai macam daya, di antaranya adalah daya berpikir berupa akal, dan daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya. Karena kuatnya kepercayaan terhadap hukum alam dan kerasnya mempertaahankan konsep hukum alam, ia dianggap kafir oleh sebagian umat Islam. Bahkan, ketika datang ke India ada tahun 1869, Jamaluddin al-Afghani menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut, Jamaluddin menggarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd Ad-Dahriyah (Jawaban Bagi Kaum Materialis).[58]
Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa permusuhan antara orang-orang Kristen dan kaum Muslimin mengenai masalah-masalah agama dilarang oleh Islam, sebab semua agama di dunia “Islam menyatakan paling respek kepada Kristus dan ajarannya. “ ia menjamin bahwa hal ini adalah ajaran Islam, di mana :jika ini memang kehendak Allah, kita dijajah oelh suatu bangsa yang banyak memberikan kebebasan keagamaan kepada kita, yang memerintahkan dengan adil, mempertahankan perdamaian dalam negeri dan memperhatiakn dengan sikap individu kita serta kelayakan sebagaimana yang dialakukan Inggris di India sekarang, maka kita diperkenankan untuk patuh pada pemerintahan yang demikian.”[59]
Dalam membantu melancarkan asimilasi antara kaum Muslimin dengan kebudayaan Inggris, Sayyid Ahmad Khan menganjurkan perlunya menghilangkan hambatan-hambatan sosial. Di saat itu ia mengeluarkan fatwanya yang termasyhur dengan mengatakan bahwa tidak dilarang oleh hokum bagi kaum Muslimin untuk makan bersama-sama dalam satu meja dengan orang-orang Kristen.[60]
Usaha memikat kaum Muslimin agar supaya menerima idenya itu ia mengambil ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa makanan dari para ahli Kitab adalah tidak menyalahi hokum bagi kaum Muslimin. Tetapi ia mendapat kesulitan yang serius jika ditanyakan bagaimana daging yang kotor (haram) itu menurut agama. Dalam hubungan ini ia mengatakan akan perlunya menginterpretasikan Hadits yang meragukan sehingga tidak menimbulkan pertentangan, dan kaum Muslimin diperbolehkan memakan daging binatang yang disembelih tanpa menyebut nama Allah.[61]
Sayyid Ahmad Khan mulai menafsirkan Al-Qur’an, mengajak memahami Al-Qur’an dengan pemahaman yang sesuai dengan akal, bahkan menganjurkan manusia untuk lebih bersandar kepada jiwa Al-Qur’an daripada bersandar kepada segi harfiahnya. Al-Qur’an harus ditafsirkan[62] sesuai dengan pikiran dan akal. Jika disebutkan ayat yang menunjukkan kandungan maknanya, bukan lafalnya, dia menafsirkannya dengan makna khusus. [63]
Sejalan dengan faham Qadariyah[64] yang dianutnya, ia menentang keras faham taklid. Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Gaung peradaban Islam masih melenakan mereka sehingga tidak menyadari bahwa peradaban baru telah timbul di Barat. Peradaban baru ini timbul dengan berdasar pada ilmu-pengetahuan dan teknologi, dan inilah penyebab utama bagi kemajuan dan kekuatan orang Barat. Selanjutnya, Sayyid Ahmad Khan mengemukakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat atau nature (sunnatullah) bagi setiap makhluk-Nya yang tetap dan tidak pernah berubah. Menurutnya, Islam adalah agama yang paling sesuai dengan hukum alam, karena hukum alam adalah ciptaan Tuhan[65] dan Al-Qur’an adalah firman-Nya sudah tentu keduanya seiring sejalan dan tidak ada pertentangan. Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan akal dan hukum alam, Sayyid Ahmad Khan tidak mau pemikirannya terganggu otoritas Hadis dan fiqh.  Segala sesuatu diukurnya dengan kritik rasional. Ia pun menolak semua yang bertentangan dengan logika dan hukum Islam.[66]
Dalam memandang doa, Ahmad Khan mengatakan bahwa tujuan sebenarnya dari doa adalah merasakan kehadiran Tuhan; dengan kata lain doa diperlukan untuk urusan spiritual dan ketenteraman jiwa. Pengertian bahwa tujuan doa adalah meminta sesuatu dari Tuhan dan bahwa Tuhan mengabulkan permintaan itu, ia tolak. Kebanyakan doa, menurut Khan, tidak pernah dikabulkan Tuhan.[67]
Inilah pokok-pokok pemikiran Sayyid Ahmad Khan mengenai pembaharuan dalam agama Islam.[68] Ide-ide yang dimajukannya banyak persamaannya dengan pemikiran Muhammad Abduh di Mesir. Kedua pemuka pembaharuan ini sama-sama memberi penghargaan tinggi pada akal manusia, sama-sama menganut menganut faham Qadariyah, sama-sama percaya kepada hukum alam ciptaan Tuhan, sama-sama menentang taklid dan sama-sama membuka pintu Ijtihad yang dianggap tertutup oleh umat Islam pada umumnya diwaktu itu.[69]

E. Pembaharuan Sayyid Ahmad Khan: Bidang Pendidikan
Peran politik yang dijalankan Sayyid Ahmad Khan membawanya pergi ke Inggris selama 1869-1870 M. Pengalaman yang diperolehnya selama di Inggris mengubah semangatnya untuk segera membentuk lembaga pendidikan. Ia sangat yakin bahwa pendidikan merupakan lembaga yang paling strategis dalam proses penyadaran umat Islam, baik dalam kesadaran baru keagamaan maupun dalam kesadaran dalam mengajar ketertinggalan dari bangsa barat, terutama dalam bidang sains dan teknologi modern. Kegiatan pendidikan yang dilakukan ini mampu mengangkat derajatnya sebagai tokoh kebangkitan Islam, yang beserta dalam gerakan-gerakan intelektual dan revolusioner dalam abad ke-19.[70]
Delapan tahun Sayyid Ahmad Khan menyiapkan lembaga pendidikan dengan menggunakan metode dan sistem kurikulum Inggris. Bahkan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris, namun tetap diajarkan pelajaran agama.  Pada tahun 1878, lembaga pendidikan ini berhasil di wujudkan dengan nama Muhammedan Anglo Oriental College (MAOC).[71] Dalam lembaga ini, mahasiswanya tidak saja terdiri dari orang-orang Islam, tapi juga terbuka untuk orang India lainnya bahkan warga Inggris yang ada disana.
Perhatian Sayyid Ahmad Khan terhadap pendidikan umat Islam memang besar, tetapi pengaruhnya tidak terbatas dalam bidang pendidikan saja. Melalui buku karangannya dan tulisan-tulisanya di Tahzib Al-Akhlak[72] ide-ide pembaharuan yang dicetuskannya menarik perhatian golongan terpelajar Islam India. Penafsiran-penafsiran baru yang diberikannya terhadap ajaran-ajaran Islam lebih dapat diterima golongan terpelajar ini dari pada tafsiran-tafsiran lama.[73]
Sayyid Ahmad Khan amat kagum pada peradaban barat, terutama setelah ia berkunjung ke Inggris. Dalam surat-suratnya[74] dari London ia memuji pendidkan orang Inggris, adat-istiadat, budi-pekerti dan kelurusan hati mereka. Orang India, baik terpelajar, maupun tidak, demikian ia jelaskan, dalam semuahal ini mempunyai kedudukan yang jauh lebih rendah di bawah kedudukan orang Inggris. Ia melihat perlunya kebudayaan Inggris dan peradaban barat itu, dibawa ke dalam masyarakat Islam India.[75]
Dalam mengembangkan pendidikannya, Sayyid Ahmad Khan melengkapinya dengan lembaga-lembaga penerjemah (the translation society) untuk menerjemahkan buku-buku seni dan sains. Lembaga penerjemah ini didirikan di Moradabad (1559) dan Grazipur (1863).  Tujuan kedua lembaga uni untuk menyebarkan pengetahuan modern, baik bidang sejarah, ekonomi, maupun sains serta menerjemahkan berbagai buku bahasa Inggris yang berkaitan dengan permasalahan penting kedalam bahasa urdu.[76]
Untuk menunjang ide-idenya, selain mendirikan MAOC (1875) dan All India Muhamedan Education Center (1886),[77] ia juga menerbitkan majalah Tanzhib al-Akhlak,[78] selain juga menulis buku di antaranya: [79]
1.      Atsar al-Sanadid (1874). Buku ini berisi hasil penelitiannya tentang arkeologi di seputar Delhi.
2.      Jami’I al-jam’ (1840) tentang sejarah ringkas keluarga raja-raja Mughal.
3.      Essay on the Life Muhammad (1970) yang berisis tentang sejarah hidup Nabi Muhammad.

Kegiatan di bidang pendidikan ini di jalani terus oleh Sayyid Ahmad Khan sampai tahun 1897. Karena ia sudah memasuki usia tua, ide-idenya diteruskan oleh para intelektual India, yang menyebarkan ide pembaruan yan berpusat di MAOC dengan nama gerakan Aligarh.[80]
Garis pengajaran dari Sayyid Ahmad Khan mempunyai dua ciri-ciri, disebabkan mana ia tak berhasil menjadi suatu revolusi yang diharap-harapkan dan sangat dibutuhkan oleh Dunia Islam, suatu karya positif dan membangun yang cocok dengan susunan masyarakat yang berdiri di atas dasar aqidah, keimanan dan risalat Muhammad, dan dapat mengisi keksongan besar yang terdapat di seluruh Dunia Islam.[81]
Pertama ia tidak memikirkan agar sistem pendidikan yang bentuknya yang terakhir diambilnya dari milieu atau lingkungan Barat, tunduk kepada watak masyarakat Islam di India dimana ia hendak diterapkannya, kepada kebutuhan dan kebutuhan dan kondisinya. Tidak terpikir olehnya hendak menempanya secara baru, yakni secara Islam di India tidak hendak dipisahkannya dari peradaban Barat dan jiwa materialistis yang tak diperlukan dinegeri Timur Islam, sebaliknya diimportnya sistem ini dari Barat secara keseluruhan, sifat=sifatnya yang khas, jiwa serta tabi’atnya, berikut peradaban yang dianutnya, didesaknya dengan gigih agar kedua kegiatan – yakni sistem mengajar dan peradaban Barat – diterima bulat. Bahkan dalam peraturan College ditetapkannya supaya rector hendaklah selalu seorang warga Inggris, dan sekurang-kurangnya dua orang dosen juga dari Inggris, begitupun direktur sekolah lanjutan. Dan jumlah ini hendaklah ditambah, sebanding dengan bertambahnya kelas atau ruangan kuliah.[82]
Da’wah di bidang pengajaran yang dipimpin dengan keikhlasan dan penuh wibawa oleh Sayyid Ahmad Khan ini, telah mendatangkan buahnya, dan mengisi kekosongan[83] yang dirasakan di bidang budaya dan ekonomi dalam masyarakat Islam setelah stabilnya pemerintahan Inggris di India, dan-sampai batas tertentu-telah berhasil mengobati kegelisahan dan keputusasaan yang mereka rasakan. Universitas ini telah mengeluarkan pemuda-pemuda dan ahli-ahli piker pilihan, pemimpin-pemimpin politik dan sastrawan-sastrawam ulung serta pribadi-pribadi kuat yang telah mengendalikan gerakan Khalifat[84] dan gerakan kemerdekaan India, serta turut memberikan sahamnya dalam mendirikan Negara Pakistan dan mengatur pemerintahannya di belakang. Tetapi, - dengan jasa-jasanya terhadap kebudayaan baru kaum Muslimin begitun dalam maslah-masalah ekonomi-tidaklah ia berhasil mencapai tujuan yang dimaksud dalm mencontoh pengalaman Barat dan menerapkannya dalm masyarakat dan kondisi Islam.[85]
Ciri kedua ialah bahwa dalam sitsem pengajaran ini ia hanya mengadalkan pengajaran bahasa dan kesusastraan semata, sekali-kali tiada memetingkan pengajaran vak dan pengetahuan praktis sebagai mestinya, padahal demikian itu merupakan hasil pengetahuan matang dan sari kekuatan dan kekuasaan bangsa-bangsa Barat, yakni yang harus diambil dan dicontoh dari Barat, yang herus dipelajari dengan giat dan semahir-mahirnya. Bahkan kada-kadang – semoga diampuni Allah – ia menantang dengan keras diajarkannya ilmu-ilmu pertukangan dan pengetahuan-pengetahuan alam. Mengenai ini pernah ia menulis beberapa uraian tejam dan kecaman pedas, yang terakhir diantaranya ialah yang disiarkan oleh majalah “Aligarh Gazetta” dalam nomor penerbitannya tanggal Februari 1898, dimana dinyatakannya:
“Malihat kedaannya yang terjamin, India tidaklah butuh kepada pengajaran pertukangan. Yang penting dan harus diutamakan ialah kemajuan berpikir hingga tafraf yang tinggi yang sampai sekarang belum tercapai dan belum lagi sempurna”.


Sayyid Ahmad Khan curiga akan tulisan dari beberapa orang pembesar Inggris yang menganjurkan mempelajari ilmu-ilmu pertukangan, bahwa mereka bermaksud hendak menghalangi pengajaran tinggi atau pengajaran kesusastraan Barat, hingga dengan segenap daya dan kemahirannya ia berusaha memerangi pendapat ini. Pada resepsi Mu’tamar pengajaran Ilsam ke-V mengenai acara ini ia telah mengucapkan pidato panjang, dimana ia menolak rencana pengajaran ilmu-ilmu pertukangan akan disejajarkan dengan pengajaran kebudayaan Inggris dan vak-vak sosial lainnya. Rencana ini telah berulang kali disodorkan dan dibahas di Panitia Universitas Allahabad, sedang Sayyid Ahmad Khan termasuk salah seorang yang anti dan menantangnya.[86]
Sebagai akibat dari demikian, maka haluan Universitas dititikberatkan pada pengetahuan kesusastraan semata, diamana kecenderungan untuk meniru dan berlebih-lebihan, begitupun memperdalam ilmu-ilmu adab merajalela, hingga mengeluarkan jumlah yang tidak sedikit dari juru-juru pidato dan sastrawan-sastrawan, pegawai-pegawai pemerintahan dan kehakiman serta pejabat-pejabat penting, tapi sebagaimana sudah dapat dikirakan dari semula, tak seorangpun menghasilkan ahli-ahli penemu dan tokoh-tokoh menonjol dalam ilmu ukur dan mekanika, kimia, alam dan ilmu perindustrian yang bermanfaat serta ilmu-ilmu lain yang amat dibutuhkan oleh rakyat Islam di India. Hal inilah yang menyebabkan keterbelakangan mereka, hingga kedudukan mereka selalu terbatas pada jabatan-jabatan pemerintahan dan kantor-kantor administrasi belaka.[87]

F. Kesimpulan
Pada tahun 1857, India secara resmi dikuasai oleh Inggris. Penguasaan Inggris atas India dicapai setelah mereka mampu mengalahkan para pedagang Eropa (Portugis da Spanyol) dalam usahanya mengumpulkan hasil bumi dari kawasan timur jauh melalui serikat dagang British East India Company. Munculnya era kapitalisme industri di India pada abad ke-19 mampi menimbulkan kesadaran baru bagi umat Islam di kawasan India.  
Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) adalah seorang muslim India yang ingin memasukkan kebuayaan Barat yang dikenalnya dengan baik ke dalam masyarakat Islam di India. Ia menetang taklid, mengasah akal, serta berhujjah dengan Al-Qur’an dan Hadits yang sahih yang dapat diberi interprestasi yang sesuai dengan paradaban modern.
Sayyid Ahmad Khan pemikirannya dalam pendidikan sangat besar sekali dia hanya memajukan umat Islam India dari ketertingalan dari bangsa lain. Sayyid Ahmad Khan juga dalam pendidikan menganut endidikan barat karena ia memnganggap orang Inggris sangat bagus pendidiknnya dan teknologi tapi Sayyid Ahmad Khan tidak meninggalkan ajaran agama dan ia memasukkannya dalam pendidikannya.
Sayyid Ahmad Khan mendirikan kelompok kajian ilmiah di kota Aligarh India, yang bertujuan unutk menyebarkan pikiran-pikirran modern dalam sejarah, ekonomi, dan ilmu pengetahuan lainnya dan juga mendirikan Universitas Aligarh yang bertujuan untuk mencetak tenaga pendidik, yang di harapkan dapat menciptakan generasi baru yang dididik oleh Sarjana Barat dan Timur bersama-sama, yang berwawasan luas, berperilaku jernih, serta toleransi beragama. Pada tahun 1878 juga didirikan sekolah MAOC di Aligarh yang menghasilkan banyak lulusan yang mempunyai peranan penting dalam kebangkitan umat Islam India dan Pakistan.
Bagaimanpun juga, Sayyid Ahmad Khan adalah pribadi terkuat yang pernah dikenal India bahkan oleh dunia Islam di masa belakangan ini. Gerakan yang didirikannya merupakan gerakan yang paling berwibawa, dan telah mencatat kemenangan dan pengaruh yang belum tercapai oleh gerakan dan aliran pikiran manapun juga. Pengaruh kepribadian Sayyid Ahmad Khan ini amat lauas dan mendalam sekali dalam kalangan masyarakat Islam di India ia meninggalkan kesan penting dalam bidang sastra, aliran dan cara berpikir, didirikannya sekolaah sastra yag menghasilkan penulis-penulis brilliant.
Sayyid Ahmad Khan adalah orang paling cakap di antara orang yang Muslim India pada waktu itu. Ia sangat adil dalam penilaiannya, tetapi ia juga berusaha untuk memimpin rakyatnya dalam kehidupan pendidikan, politik, sastra, agama dan sosial, dana adalah manusiawi jika ia tidak bisa mencapai kesempurnaan yang mutlak dalam setiap bidang. Apa yang dapat dicapai adalah suatu usaha yang luar biasa, dan biasanya ia tidak member kesempatan orang untuk mengkritik pekerjaan-pekerjaannya. Tetapi justru dalam beberapa hal yangia katakana atau perbuat, yang apabila ia mempunyai cukup waktu untuk mempertimbangkannya lebih mendalam lagi, ia seharusnya menghindari hal tersebut. Orang yang sangat sibuk dan banyak pekerjaan ini seringkali harus menberikan pandangannya tanpa mempertimbangkan akibatnya atau pernyataan yang sebenarnya dapat ia perbaiki. Jika keyakinannya yang kuat atau hal-hal yang disenangi terlibat, maka bahaya melampaui batas-batas kehati-hatian seringkali bertambah banyak.
Pada asasnya Sayyid Ahmad Khan sebagaimana dikatakan adalah bijaksana dalam pandangan-pandangannya. Tetapi pada akhir hayatnya, dalam beberapa hal, ia cenderung kea rah ekstremitas, dan seringkali dengan keras memegang pendapatnya, yang kadang-kadang merugikan nilai pandangannya. Ketetapan hatinya untuk meneruskan kontroversi agama merupakan contoh yang jelas betapa ia meneruskan dengan keras hati melahirkan pendapatnya sekalipun dengan resiko merugiksn pekerjaan yang pokok dalam hidupnya.
Sebagai langkah untuk membangkitkan kembali umat Islam, Sayyid Ahmad Khan mengemukakan tiga langkah yang harus ditempuh:
1.      Bekerja sama dalam bidang politik.
2.      Mengambil ilmu-ilmu kebudayaan Barat.
3.      Menafsir ulang Islam dalam bidang pemikiran. Gagasan untuk menjalin hubungan Negara Inggris dan menyingkirkan penolakan kaum Muslimin terhadap kemajuan Barat mulai ia perjuangkan.






[1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),  hal. 11
[2] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 11-12
[3] Islam masuk ke India sejak zaman pemerintahan khalifah Utsmaniyah dan mencapai puncak kemajuannya di era dinasti Mughal pada masa pemerintahan Akbar dan Aurangzeb. Sejak zaman ke-18, kerajaan Mughal mulai memasuki zaman kemunduran. Keadaan demikian membuat orang-orang Hindu bangkit untuk mengambil kembali pemerintahan India. Akibat dari hal tersebut, terjadi perlawanan dan pertikaian yang mengganggu keamanan pemerintahan Islam. Dalam kondisi demikian, Inggris pun berkeinginan untuk menguasai daerah-daerah di India. Keadaan seperti ini membuat dinasti Mughal semakin melemah.  Lihat Khoiriyah, Islam dan Logika Modern (Mengupas Pemahaman Pembaruan Islam), (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hal. 87
[4] Malapetaka hebat yang melanda India, yaitu pemberontakan tahun 1857. Pemberontakan itu merupakan akibat dari keingginan akan adanya pendidikan di India, dan akibat dari kenyataan bahwa Bangsa India tidak memahami hak pemerintah. Selain itu semua juga terdapat keinginan akan adanya hubungan antara para penguasa dan rakyat dalam hal keinginan untuk memperoleh pendidikan. Lihat John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 55
[5] Harun Nasution, Islam Rasional (Gagasan dan Pemikiran), (Bandung: Mizan, 1995), hal. 150
[6] Untuk keperluan itu, pada 1878 ia mendirikan Muhammedan Anglo Oriental College (MAOC) DI Aligarh yang pada 1920 menjadi Universitas Islam Aligarh. Kurikulum yang dipakai di MAOC mencakup ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan Barat yang diberikan dalam Bahasa Inggris. Lembaga inilah yang menghasilkan pemimpin-pemimpin gerakan Aligarh yang meneruskan ide-ide pembaruan yang dicetuskan Sayyid Ahmad Khan. Lihat Harun Nasution, Islam Rasional, hal. 150-151
[7] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 166
[8] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 166-167
[9] Husyn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997), hal. 296
[10] Dengan begitu kuat Sayyid Ahmad Khan mempertahankan pendapat ini sehingga oleh lawan-lawannya ia dituduh nechari, yaitu orang yang menganut paham naturalisme dan materialisme.
[11] Sesungguhnya tiang kemerdekaan adalah ilmu pengetahuan yang dapat membawa angin baru dalam peradaban, baik ilmu pengetahuan alam, kimia, ilmu pasti, astronomi, ilmu jiwa, ilmu sosial, aturan pemerintahan maupun administrasi, dan lain-lain. Dan agama herus dipandang sebagai sesuatu yang membolehkan hal-ha tersebut: menghidupkan hati, tetapi tidak mengikat akal dan melumpuhkan pikiran. Lihat Husyn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Islam, hal. 296
[12] Mahjuddin Sjaf, Pertarungan Alam Fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1965).  hal. 76
[13] A. Munir dan Sudarsono, Aliran Modern dalam Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), hal. 165
[14] Maryam Jameelah, Islam dan Modernisme (terj. A. Jainuri, Syafiq dan A. Muqhni), (Surabaya: Usaha Nasional, tanpa tahun), hal. 83-84
[15] Husyn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Islam, hal. 298
[16] Dari hasil berbagai bacaan yang ia peroleh, sikap pribadinya pun menjadi terbuka dan berpandangan jauh ke depan, dan hal ini berbeda dengan masyarakat tradisional India pada umumnya. Perbedaan yang ditonjolkan oleh Ahmad ini menurut analisis para ahli sejarah bisa jadi karena para leluhurnya berasal dari Iran, kemudian mereka hijrah ke India pada masa pemerintahan Akbar (1556-1603 M). Orang tua Akbar pada thun 1450 mengalami kekalahan dalam peperangan yang dilancarkan oleh Sher Khan dari Afghanistan. Dia melarikan diri ke Persia (Iran) selama 15 tahun untuk menggalang kekuatan. Ia kembali ke India dengan membawa kekuatan pasukan yang mampu mengalahkan kekuatan Khan Syah pada tahun 1556 M. Ketika Humayan wafat, ia diganti oleh putranya Akbar. Pada masa inilah leluhur Ahmad Khan datang ke India. Dilihat dari silsilah keturunan ini, maka ia diberi gelar Sayyid. Lihat Khoiriyah, Islam dan logika Modern, hal. 96-97
[17]  Mahjuddin Sjaf, Pertarungan alam fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat,  hal. 75
[18] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 217
[19] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 165
[20] Tentang ayahnya ini hanya sedikit yang menjelaskannya, kecuali bahwa ia adalah orang yang dingin, suka berkata terus terang, mahir dalam panahan dan berenang, serta sangat intim dengan Syah Ghulam Ali Naqshabandi Mujaddidi, seorang wali setempat yang sangat terkenal. Lihat H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 54     
[21] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern diIndia dan Pakistan, hal. 54-55
[22]  Ia dilahirkan di Delhi, memeroleh pendidikan di Lucknow dan setelah itu segera diangkat sebagai Inspektur  Kepala Madrasah (Colloge) yang didirikan Warren Hastings di Calcuta. Kemudian ia dipilih sebagai pejabat politik oleh East India Company. Pada tahun 1799 ia menyertai, sebagai Attache, perutusan yang dikirimkan oleh Lord Wellesly ke Persia, dan kemudian diangkat sebagai Kepala Pejabat Politik di Istana Raja Burma. Pada tahun 1815 ia meninggalkan Calcuta untuk diangkat menjadi Menteri yang diberikan kepadanya oleh Akbar Syah II.  Ia membewa untuk jabatannya pada Kaisar tetuler Mungal seluruh pengalamannya pada waktu bekerja di East India Company, dan bekerja tanpa mengenal lelah untuk mengatur kembali keungan Istana. Saying sekali kebijaksanann ekonomi yang ia terapkan tidak popular, dan tidak lama kemudian ia meninggalkan pekerjaannya sebagai Menteri. Namun ia diminta kembali untuk bekerja di istana, dan memegang jabatan tersebut lebih dari tiga tahun. Lihat Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern diIndia dan Pakista, hal. 55
[23] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern diIndia dan Pakisan, hal. 55
[24] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern diIndia dan Pakistan, hal. 55
[25] Perincian masa kecilnya Sayyid Ahmad Khan tidaklah tercatat, tetapi apa yang dapat diperoleh dari tulisan-tulisan yang ada, dapat diduga bahwa kekuatan intelektualnya berkembang sangat lamban, dan pada waktu kanak-kanak dan remaja ia ditandai dengan fisik yang kuat dan aktif diluar rumah daripada kegiatan intelektual. Pada waktu kakenya melihat sewaktu lahir dan memperhatikan tangan dan kakinya yang sangat besar, ia berkata: “Seorang yang keras lagi kasar dilahirkan diantara keluarga kita!”. Permainan keras Syyid Ahmad Khan lakukan pada waktu kecil dan mdanya memperkokoh fisiknya, tetapi untung sekali pendidikannya tidaklah sama sekali terabaikan. Pendidikan yang diperoleh Sayyid Ahmad Khan sewaktu kecil tidak demikian mendalam dan sistematis , tetapi di bawah asuhan seorang ibu yang sangat bijaksana, ia juga memperoleh pengetahuan yang cukup, beberapa ilmu yang bisa diajarkan di madrasah-madrasah Muslim pada waktu itu. Lebih dari itu, ia mengembangkan cinta yang sebenarnya terhadap belajar yang memungkinkan dapat melengkapi pengetahuan yang ia peroleh pada waktu muda, dan dalam perjalanan waktu selanjutnya bukan hanya menjadi pemimpin politik tetapi juga pemimpin intelektual bagi rakyatnya. Lihat mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern diIndia dan Pakistan, hal. 56
[26] Ahmad Amir Azis dan Mukhtafi Sahal, Teologi Islam Modern, ( hal. 72
[27] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, hal, 56
[28] Mukti Ali, Alam Pikiran Modern di india dan Pakistan, hal. 56
[29] Maryam Jameelah, Islam dan Modernisme , hal. 77
[30] Sayyid Ahmad Khan pertama kali berkesempatan memperbaiki ketidak-sohoran namanya yaitu ketika ia mempublikasikan karyanya, Athar al-Sanadid pada tahun 1847, suatu sejarah serta monument orang-orang terkenal di Delhi. Karya sejarah yang menarik ini membuktikan ia sebagai seorang sarjana yang kurang dengan tulisan-tulisan keagamaan buku tersebut dicetak ulang pada tahun 1854 diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dan ia di hargai dengan diberikan anugerah sebagai anggota kehormatan dari Royal Asiatic Society London. Pada waktu ini dicetak lagi dalam bahasa Urdu, Ghalib memperingatkan Sayyid Amad Khan untuk mempelajari kebudayaan Inggris sebagai ganti waktu yang dibuang sia-sia guna memimpikan zaman keemasan kebudayaan Islam India. Kami melihat betapa seriusnya ia menerima saran ini. Lihat Mayam Jameelah, Islam dan Modernisme, hal. 78
[31] Delapan itulah merupakan tahun-tahun yang sangta penting bagi kehidupan Sayyid Ahmad Khan. Pada waktu itu ia dapat menyelaikan pendidikannya, di samping juga dapat melihat tidak sekadar khayalan kabur dari anak-anak, tetapi dengan pandangan dewasa dari pemuda yang sedang tumbuh, “musim panas India” dari Delhi lama. Lihat Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, hal. 56
[32] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, hal. 217
[33] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam,  hal. 56
[34] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, hal. 58
[35] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, hal. 58
[36] Dan pada 17 Nopember 1869 dibukalah terusan itu untuk lewatnya kapal, pembukaan mana dengan mengadakan pesta besar ada tandingannya selama ini. Waktu itu Sayyid Ahmad Khan sedang berada di Inggris.
[37] Mahjuddin Sjaf, Pertarungan Alam Fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat, hal. 76-77
[38] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, hal. 94
[39] www.Google.com
[40] Khoiriyah, Islam dan Logika Modern, hal. 100
[41] Khoiriyah, Islam dan Logika Modern, hal. 100-101
[42] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 165
[43] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 166
[44] Dalam usahanya menetralisasi politik perbudakan dengan Islam, Sayyid Ahmad Khan mengutip contoh Nabi Yusuf yang telah mengabdikan dirinya pada Fir’aun di Mesir, beliau loyal kepadanya dan patuh meskipun diketahui bahwa Fir’aun itu bukan seorang Muslim. Kefanatikannya membantu kepentingan-kepentingan imperialism Inggris ia lakukan  juga dengan mengeluarkan penerbitan khusus mengenai loyalitas kaum Muslimin dalam pengabdiannya kepada pemerintahan Inggris. Saya akan menyebutkan beberapa keuntungan, keadilan, kebaikan serta sikap pemerintah kita yang tidak berat sebelah telah menganugerahi mereka semua atas loyalitasnya dengan suatu kemurahan hati, keadilan serta perlindungan serta semua masalah yang menyangkut kaum Muslimin India. Semua ini hendaknya diketahui; karena dengan mengetahui itu semua, maka kita sudah pasti akan merasa berterima kasih pada kebaikan pemerintah kita. Lihat Maryam Jameelah, Islam dan Modernisme, hal. 79
[45] Dalam kedua buku ini, Sayyid Ahmad Khan mencoba menyakinkan Inggris bahwa dalam pemberontakan tersebut umat Islam tidak memainkan peranan utama, tetapi karena kesalahan semua pihak yang terlibat, termasuk penguasa Inggris yang terlalu mengintervensi dalam urusan keagamaan dan tidak menyertakan orang-orang India (Islam) dalam lembaga perwakilan rakyat, serta tidak pula karena intimidasi dari luar negeri (Afghanistan dan Rusia) untuk mengusir Inggris. Lihat Khoriyah, Islam dan Logika Modern, hal. 101
[46] Khoiriyah, Islam dan Logika Modern, hal. 101
[47] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, hal. 59-60
[48] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern diIndia dan Pakistah, hal. 61
[49] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern diIndia dan Pakistan, hal. 61
[50] Ia menjadi anggota Dewan Legislatif pada waktu Rencana Undang-undang Ilbert yang terkenal itu diajukan, dan untuk mendukunngnya ia membikin pidato yang sangat kuat dan sangat dipuji bahkan oleh orang yang selalu mengkritik dan juga lawan politiknya, seperti Abul Kalam Azad. Sayyid Ahmad Khan dan Kristo Dass Paul adalah anggota tidak resmi yang mendudkung Rencana Undang-undang tersebut, yang bertujuan menghilangkan diskriminasi rasial di pengadilan-pengadilan India. Lihat Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern diIndia dan Pakistan, hal. 75
[51] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern diIndia dan Pakistan, hal. 75
[52] Menurutnya karena ilmu-pengetahuan  dan teknologi adalah hasil pemikiran manusia, akal manusia harus mendapatkan penghargaan yang tinggi. Namun sebagai seorang muslim yang percaya kepada wahyu, baginya kekuatan akal bukanlah tak terbatas. Lihat Muktafi Sahal, Teologi Islam Modern, (Surabaya: Gita Media Press), hal. 8
[53] Khoiriyah, Islam dan Logika Modern, hal. 98-99
[54] Yaitu usaha sungguh-sungguh yang dilakukan para ahli agama untuk mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syarak mengenai kasus yang penyelesaiannya belum tertera di Al-Qur’an dan Sunah, Pendapat dan tafsiran.
[55] Yaitu kekuasaan yang tidak terbatas, mutlak: seorang raja mempunyai kekuasaan sepenuhnya.
[56] Di India Sayyid Ahmad Khan membawa ide Rasionalisme yang lebih tegas dan paham hokum alam yang mengatur perjalanan alam sekuruhnya. Al-Qur’an dan hokum alam adalah sama-samam ciptaan Tuhan dan oleh karena itu antara keduanya tidak mungkin terdapat pertentangan. Ide-ide yang dibwanya menetang tradisionalisme dan fatalism. Ajarannya dikenal dengan nama naturalism. Lihat Harun Nasution, Islam Rasional, hal. 184-185
[57] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hal. 474
[58] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, hal. 218
[59] Maryam Jameelah, Islam dan Modernisme, hal. 78-79
[60] Maryam Jameelah, Islam dan Modernisme, hal. 79
[61] Maryam Jameelah, Islam dan Modernisme, hal. 79-80
[62] Dalam bidang ini, karya-karya Sayyid Ahmad  Khan di antaranya adalah tafsir Al-Qur’an yang terdiri dari beberapa jilid (1982,1985, 1888, 1892 dan 1895); Ibtal di Ghulam (1890) yang berisi tentang pengahapusan perbudakan dalam Islam; dan Tabyin al-Kalam (1862) yang membahas kitab Bibel. Lihat Khoiriyah, Islam dan Logika Modern, hal. 99-100
[63] Ketika menafsirkan ayat “Dia turun bersama ruh al-amin atas hatimu.”, ia berpendapat bahwa Nabi SAW mengungkapkan kandungan makna ayat itu dengan bahasa Arab. Menurutnya, India harus menjadi satu umat. Sesungguhya, Islam, Hindu, dan Kristen harus menjadi akidah para pemeluknya sendiri, tidak boleh ditempatkan dalam kerangka nasionalisme yang beranggotakan semua kelompok yang harus menjaga keyakinannya masing-masing. Pertentangan antara kelompok beragama, pertentangan untuk membagi India menjadi Negara Islam, atau Negara lainnya, Hindu, adalah pemikiran yang sama sekali salah, hala ini tidak akan menguntungkan Negara atau siapa pun. Oleh sebab itu, dia diserang oleh para tokoh agama. Mereka mengambil fatwa dari ulama Mekah yang menilainya telah kafir, bahkan menganjurkan kepada orang awam untuk memusuhinya. Di antara mereka ada yang sudah berkali-kali berusaha menangkapnya, tetapi tidak berhasil. Hal itu malah membuatnya semakin berani. Lihat husyn Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, hal. 297
[64] Qadariah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pegertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Lihat Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, hal. 70
[65] Sayyid Ahmad Khan memperoleh konsepsinya tentang Tuhan dari paham Deis di Perancis pada abad ke-18. Baginya Tuhan merupakan wujud yang samar-samar. Hubungan alam itu kekal, dan Tuhan tidak bisa berbuat sesuatu untuk mengubahny, sehingga tidak ada perasaan untuk memuji-Nya, demikian ia mengatakan. Menurut Sayyid Ahmad Khan, ajaran Qur’an dan Sunnah itu hanya terbatas khusus pada masalah-masalah ibadah saja. Ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah-masalah social, ekonomi serta budaya hanyalah tergambar dalam masyarakat primitive di mana Nabi hidup yang semua itu sudah tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Itulah sebabnya, jika kaum muslimin tidak diwajibkan mengikuti Islam sebagai jalan hidup yang sempurna, maka tidak ada stu pun jalan lain kecuali menerima kebudayaan Barat. Lihat Maryam Jameelah, Islam dan Modernisme, hal. 82-83 
[66] Lihat Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, hal. 219
[67] www.Goggle.com
[68] Pemikirannya dalam keagamaan itu antara lain:
a.       Perkawinan  menganut asa monogami, poligami bertentangan dengan semangat Islam dan hal ini tidak diizinkan kecuali dalam keadaan memaksa.
b.      Islam dengan tegas melarang perbudakan, termasuk perbudakan tawanan perang, meskipun syariat memperbolehkan.
c.       Bank modern, transaksi perdagangan, pinjaman serta perdagangan internasional yang meliputi ekonomi modern, meskipun semua itu mencakup penyebaran bunga, tidaklah dianggap riba, karena hal itu tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur’an.
d.      Hukum potong tangan didasarkan pada Al-Qur’an dan sunnah bagi pencuri, lemparan batu serta cambukan 100 kali bagi pezina hanya sesuai dengan masyarakat primitif yang kekurangan tempat penjara atau tidak mempunyai penjara.
e.       Jihad itu dilarang kecuali dalam kedaan memaksa untuk mempertahankan diri.
Lihat Maryam Jameelah, Islam Modernisme, hal. 81-82
[69] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 169
[70] Khoiriyah, Islam dan Logika Modern, hal. 101-102
[71] Untuk meningkatkan mutu pendidikan di MAOC dan menyeragamkan sistem pendidikan nasional di India, ia membentuk “Muhammedan Education Conference” pada tahun 1886. Lembaga ini memiliki tugas menyebarluaskan pendidikan barat di kalangan umat Islam, menyelidiki pendidikan yang didirikan oleh golongan Islam, dan menunjang pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah swasta. Sayyid Ahmad Khan berusaha menguasai ketertinggalan pendidikan orang Islam dengan pendidikan model barat. Lihat Khoiriyah, Islam dan Logika Modern, hal. 102; program-program lembaga ini antara lain:
a.       Mempromosikan pendidikan barat kepada umat Islam India.
b.      Memperkaya bahasa Urdu melalui penerjemahan karya-karya ilmiah.
c.       Menerapkan secara politis bahasa Urdu sebagai bahasa kedua di semua kantor dan sekolah swasta.
d.      Menekankan pentingnya pendidikan wanita demi keseimbangan perkembangan intelektual generasi yang akan datang.
e.       Menyusun kebijaksanaan bagi orang-orang Islam yang belajar di perguruan tinggi Eropa. Lihat Muktafi Sahal, Teologi Islam Modern, hal. 80-81
[72] Pengaruh Tahdzibul Akhlaq sangat cepat dan luas, di luar dugaan Sayyid Ahmad Ahmad sendiri. Pada tahun 1868, ia menyerang kelompok ortodoks dengan menyatakan dalam suatu pamflet bahwa orang Muslim makan bersama orang Kristen dan orang Yahudi adalah tidak dilarang. Pada tahun 1870, pada waktu Tahdzibul Akhlak terbit, penulisan yang populer di antara para penulis Urdu adalah prosa yang dibikin-bikin lagi kosong isinya, yang juga dipergunakan oleh Sayyid Ahmad Khan dalam Asrar-ul Sanadid dan tidak bisa menjadi alat yang baik bagi ekspres sastra. Adalah benar bahwa dalam kosong isi telah ditinggalkan, tetapi jangkauan masalah yang digarap oleh Ghalib terbatas, dan beberapa kopi dari karya sastranya yang dijual dalam satu tahun tidak bisa merevolusionerkan prosa Urdu. Tidak ada orang yang berkata bahwa Tahdzibul Akhlak ditulis dengan gaya Ghalib. Gaya yang dipergunakan oleh Sayyid Ahmad Khan adalah gayanya sendiri. Itu merupakan ekspresi pribadinya-dalam kesederhanaannya, kekuatannya dan lugasnya-dan selama tujuh tahun yang ia pergunakan untuk tema-tema sosial, agama, politik, ekonomi, dan sastra, ia telah memberikan kepada bahasa Urdu gaya prosa baru yang bisa juga kurang dalam keindahan sastra, tetapi sangat cocok untuk memenuhi persyaratan-persyaratan yang normal bagi bahasa moder. Lihat Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, hal. 70-72
[73] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 171
[74] Dalam salah satu suratnya yang ditulis di London tertanggal 15 Oktober 1869 kepada kerabatnya yang berada di negeri, ia mengatakan:
“Tanpa mengunggul-unggulkan bangsa Inggris, saya mengatakan dengan sebenarnya bahwa India, tinggi atau rendah, pedagang atau pelayan toko, yang berpendidikan atau buta huruf, bila dikontraskan dengan orang Inggris yang berpendidikan, adat, kebiasaan serta ketulusannya, mereka itu dapat disamakan sebagai binatang yang kotor dengan orang yang cakap. Dan orang Inggris punya alasan untuk menganggap kita di India sebagai orang dungu dan tidak berbudi . . . . . . Apa yang telah saya lihat sehari-harinya sama sekali di luar dugaan seorang warga India asli. Celakanya harga diri sendiri dengn tenang termasuk dalam masyarakat Islam. Mereka ingat serita-cerita lama dari nenek moyang mereka yang menganggap bahwa tak seorangpun yang menyerupai mereka, meskipun kaum Muslimin Mesir serta Turki hari-berhari menjadi lebih berbudaya. Sampai-sampai jika sistem pendidikan modern dipaksakan seolah-olah ada disini, hal itu nampaknya tidak mungkin bagi warga pribumi menjadi berbudaya dan terhormat.” Lihat Maryam Jameelah, Islam dan Modernisme, hal. 80
[75] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 172
[76] Khoiriyah, Islam dan Logika Modern, hal. 102
[77] Ada pendapat yang mengatakan di tahun 1886 ia bentuk Muhammaden Educational Conference dalam usaha mewujudkan pendidikan nasional dan seragan untuk umat Islam India. Program dari lembaga ini ialah menyebarkan pendidikan Barat dikalangan umata Islam, menyelidiki pendidikan agama yang di berikan di sekolahsekolah Inggris yang didirikan oleh golongan Islam dan menunjang pendidikan agama yang di berikan di sekolah-sekolah swasta. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal 170-171
[78] Bersama-sama dengan terbitnya Tahdzibul Akhlaq, Saayid Ahma Khan mulai bekerja untuk menyiarkan pendidikan modern. Pada tanggal 26 Desenber 1870, di Benares ia mnedirikan “Society for the Educational Progress of Indian Muslims” (Himpunan untuk Kemajuan Pendidikan Orang-orang Muslim India) yang setelah menerima banyak anjuran dan dipertimbangkan masak-masak, memutuskan untuk mulai mendirikan perguruan tinggi Islam “Anglo-Oriental College”. Pertama-tama Sayyid Ahmad Khan ingin mendirikan Universitas seperti Universita Cambridge, tetapi pemerintah India tidak mengizinkan, dan hanya perguruan tinggi yang diizinkan. Aligarh di mana  Sayyid Ahmad Khan pernah beberapa tahun menempat sebagai Wakil Hakim, dipilih sebagai pusatnya. Terdapat kesulitan memperoeh tanah untuk Perguruan Tinggi tersebut, dan baik Kolektor Distrik maupun Kepala Pendidikan Provinsi menentang permohonan pendirian Perguruan Tinggi ini. Tetapi Sir John Strachey,  Gubernur Provinsi menolak larangan-larangan tersebut, dan sebidang tanah yang cukup luas diberikan kepada Komite Pendirian Perguruan Tinggi. Pada bulan Juli 1876 Sayyid Ahmad Khan pension  dari kantor Pemerintah dan menetap di Aligarh. Di sini  ia mulai bekerja, sebagaimana wataknya, dengan penuh semangat dan teliti, dan pada tanggal 8 Januari 1877 batu pertama bangunan Perduruan Tinggi tersebbut diletakkan oleh Lord Lytton, Raja Muda India. Lihat Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern diIndia dan Pakista, hal. 72
[79] Khoiriyah, Islam dan Logika Modern, hal. 103
[80] Khoiriyah, Islam dan Logika Modern, hal. 103
[81] Mahjuddin Sjaf, Pertarungan Alam Fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat, hal. 79
[82] Mahjuddin Sjaf, Pertarungan Alam Fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat, hal. 79-80
[83] Ia tak dapat mengisi kekosongan negeri, yakni kekosongan yang dirasakan terhadap terbinanya generasi baru Islam, yang menghujam aqidahnya, kuat imannya, sadar akan misi dan peranannya dalam mengendalikan peradaban, luas paham kebudayaan dan cerdas dalam berpikir, yang hanya sedia mengambil dari kebudayaan baru itu mana-mana yang baik dan merupakan intisari, membuang yang jelek atau hanya kulit yang tidak, berarti serta orisinil dalam karya dan produksi, yakni generasi yang sudah lama dan senantiasa ditunggu-tunggu dan dinanti-nanti oleh dunia Islam, dengan kekecewaanperih dan kesabaran yang hampir habis, suatu generasi yang dengan taufik Allah SWT akan dapat membebaskan dunia Islam dari kebingungan yang meliputi dan kelemahan yang meraajalela, memegang posisi penting dalam memimpin umat dan mengendalikan peradaban. Lihat Mahjuddin Sjaf, Pertentangan Alam Fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat, hal. 83
[84] Yakni gerakan menyokong pemerintahan Ustmani dalam hubungannya engan soal-soal keIslaman dan menentang kaum sekutu, yang merupakan gerakan politik Islam terkuat di India. 
[85] Mahjuiddin Sjaf, Pertarungan Alam Fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat, hal. 82-83
[86] Mahjuddin Sjaf, Pertarungan Alam Fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat, hal. 81
[87] Mahjuddin Sjaf, Pertarungan Alam Fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat, hal. 81-82


[*] Pemakalah adalah Mahasiswi Jurusan Pendidikan Agama Islam Konsentrasi SLTP-SLTA Semester IV Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Sekarang sedang menyelesaikan Program Strata 1 (satu).


DAFTAR PUSTAKA

A. Munir dan Sudarsono, Aliran Modern dalam Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994
Ali, H.A. Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1996
Amin, Husyn Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986
Jameelah, Maryam, Islam dan Modernisme (terj. A. Jainuri, Syafiq dan A. Muqhni), Surabaya: Usaha Nasional, tanpa tahun
Khoiriyah, Islam dan Logika Modern (Mengupas Pemahaman Pembaruan Islam), Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008
L. Esposito, John, Islam dan pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994
Nasution, Harun, Islam Rasional (Gagasan dan Pemikiran), Bandung: Mizan, 1995
______________, Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Sahal, Muktafi, Teologi Islam Modern, Surabaya: Gita Media Press, tanpa tahun
Sjaf, Mahjuddin, Pertarungan Alam Fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1965
Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2007
www.Google.com