Kamis, 30 Juni 2011

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mesir adalah negara yang kaya dengan sejarah dan berbagai peninggalannya sesuai dengan kurun waktu yang telah dilaluinya, yaitu zaman Fir’aun, zaman Romawi/ Masehi dan zaman Islam. Mesir merupakan wilayah dunia Islam yang mempunyai posisi penting karena letak geografisnya yang strategis. Pada tahun 1182-1187 H/1768-1772 M, Mesir di perintah oleh ‘Ali Bek al-Kabir, seorang penguasa berasal dari Mamluk. Dia mengumumkan kemerdekaan Mesir serta menggabungkan Hijaz dan Syuriah kedalam wilayahnya.
Pada tahun 1213-1216 H/1798-1801 M, pasukan Perancis yang dipimpin Napoleon Bonaparte menguasai Mesir. Mereka juga berhasil merebut Syam, Gaza dan Yafa. Tetapi Napoleon segera kembali ke Perancis karena kondisi didalam negerinya yang mengharuskannya meninggalkan Mesir. Pada perkembangan berikutnya, muncullah Muhammad ‘Ali yang berkuasa di Mesir mulai dari tahun 1805-1849. Muhammad ‘Ali awalnya adalah pemimpin kelompok Albania dalam pasukan Utsmaniyah. Lalu para Ulama mengangkatnya disebabkan oleh kezaliman dan tirani pemimpin-pemimpin Utsmaniyah.







BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Mesir (Kairo)
Mesir (Kairo) dibangun pada tanggal 17 Sya’ban 358 H/969 M[1] oleh panglima perang dinasti Fathimiah yang beraliran Syi’ah, Jawhar Al-Siqili, atas perintah Khalifah Fathimiah, Al-Mui’zz Lidinillah (953-975 M), sebagai ibu kota kerajaan dinasti tersebut. Bentuk kota ini hamper merupakan segi empat. Di sekelilingnya di bangun pagar tembok besar dan tinggi, yang sampai sekarang masih ditemui peninggalannya. Pagar tembok ini memanjang dari Masjid Ibn Thulun sampai ke Qal’at Al-Jabal, memanjang dari Jabal Al-Muqattam sampai ke tepi sungai Nil. Daerah-daerah yang dilalui oelh dinding ini sekarang disebut al-Husainiyah, Bab al-Luk, Syibra, dan Ahya Bulaq.
Setelah pembangunan kota Kairo rampung lengkap dengan istananya, Al-Siqili mendirikan masjid Al-Azhar, 17 Ramadhan 359 H (970 M). Masjid ini berkembang menjadi sebuah universitas besar yang sampai sekarang masih berdiri megah.[2] Nama Al-Azhar diambil dari al-Zahra’, julukan Fathimiah, puteri Nabi Muhammad SAW dan istri Ali Abi Thalib, Imam pertama Syi’ah.
B. Masuk  Islam ke Mesir
Islam masuk Mesir dibawa oleh Amru bin Ash  pada tahun 641 M. Islam diterima di Mesir dengan cara damai dan tanpa melalui peperangan. Rakyat mesir dikala itu menganut Kristen aliran Coptic (baca : Koptik) yang mempercayai akan kehadiran agama baru “Islam”.
Amru bin Ash menjadikan kota Fushtat (sekarang bernama old Egypt/Mesir lama) sebagai pusat kota pada masanya. Selama masa Islam berjaya di Mesir, terjadi pula peristiwa perang Salib yang diantaranya berkecamuk di wilayah Mesir, dengan panglima terkenalnya Shalahuddin Al-Ayyubi. Kini benteng peninggalan perang Salib itu masih berdiri kokoh dan dilestarikan dengan nama Benteng Shalahuddin/Citadel.
C. Dinasti-Dinasti Islam di Mesir
Kota yang terletak di sungai Nil ini mengalami tiga kali masa kejayaan, yaitu pada masa dinasti Fathimiah, di masa Shalah Al-Din Al-Ayyubi dan di bawah Baybars dan Al-Nashr pada masa dinasti Mamalik.
1.      Dinasti Fathimiah
Mesir merupakan satu-satunya Negara yang paling lama merasakan kekuasaan Fathimiah. Dinasti Fathimiah adalah satu-satunya dinasti Syiah dalam Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada 909 M.,[3] sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu terpusat di Baghdad, yaitu bani Abbasiyah. Dinasti Fathimiah didirikan oleh Sa’id ibn Husayn, kemungkinan keturunan pendiri kedua sekte Ismailiyah, seorang Persia yang bernama ‘Abdullah ibn Maymun.
Periode Fathimiah dimulai dengan Al-Mu’izz dan puncaknya terjadi pada masa pemerintahan anaknya, Al-‘Aziz. Wilayah kekuasaan dinasti Fathimiah meliputi Afrika Utara, Sicilia, dan Syria. Selama pemerintahan Al-Mu’izz melaksanakan tiga kebijaksanaan besar, yaitu pembaharuan dalam bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama (juga aliran). Dalam bidang administrasi ia mengangkat seorang wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Dalam bidang ekonomi, ia memberi gaji khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya. Dalam bidang agama, di Mesir diadakan empat lembaga peradilan, dua untuk mazhab Syi’ah dan dua untuk mazhab Sunni. Al-‘Aziz kemudian mengadakan program baru dengan mendirikan masjid-masjid, istana, jembatan, dan kanal-kanal baru.[4]
Salah satu fondasi terpenting yang dibangun pada masa Fathimiah adalah pembangunan Dar al-Hikmah (rumah kebijakansanaan) atau Dar al-‘Ilm (rumah ilmu) yang didirikan oleh al-Hakim pada 1005 sebagai pusat pembelajaran dan penyeberan ajaran Syi’ah ekstrim. Untuk mengembangkan institusi ini, al-Hakim menyuntikkan dana besar yang 257 dinar di antaranya digunakan untuk menyalin berbagai naskah, memperbaiki  buku dan pemeliharaan umum lainnya.  Gedung ini dibangun berdekatan dengan istana kerajaan yang di dalamnya terdapat sebuah perpustakaan dan ruang-ruang pertemuan. Kurikulumnya meliputikajian tentang ilmu-ilmu keIslaman, astronomi, dan kedokteran.  
Kemunduran dinasti Fathimiah dengan cepat terjadi setelah kekuasaan al-Aziz. Keruntuhan itu diawali dengan munculnya kebijakan untuk mengimpor tentara-tentara dari Turki dan Negro sebagaimana yang dilakukan dinasti Abbasiyah. Ketidakpatuhan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, serta pertikaian dengan pasukan dari suku Berber menjadi salah satu sebab utama keruntuhan dinasti ini. Para prajurit dan budak-budak yang berasal dari Sicasse dan Turki yang kemudian merebut kekuasaan puncak dari tangan keluarga Fathimiah, kemudian mendirikan dinasti-dinasti baru.
2.      Dinasti Ayyubiah (567-648 M)
Dinasti Ayyubiah didirikan oleh Shalah Al-Din, seorang pahlawan Islam terkenal dalam perang Salib. Ia tetap mempertahankan lembaga-lembaga ilmiah yang didirikan oleh dinasti Fathimiah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syi’ah kepada Sunni. Ia juga mendirikan lembaga-lembaga ilmiah baru, terutama masjid yang dilengkapi dengan tempat belajar teologi dan hukum. Karya-karya ilmiah yang muncul pada masanya dan sesudahnya adalah kamus-kamus biografi, kompendium sejarah, komentar-komentar teologi. Prestasinya yang lain adalah didirikannya sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat pikiran.
Rangkaian perselisihan yang terjadi dalam dinasti Ayyubiah tidak hanya membuat Islam kehilangan kekuatannya untuk melakukan serangan, tetapi satu demi satu daerah taklukan Shalah al-Din, seperti Beirut, Safawi, Tiberias, Askalon, bahkan Yerusalem (1229), jatuh ke tangan orang Franka.
3.      Dinasti Mamalik (648-922 H)
Pada tradisi –tradisi lain selain Islam, kemunculan dan kebangkitan suatu dinasti semacam dinasti Mamluk merupakan satu fenomena yang sulit dipahami. Bahkan, dalam tradisi Islam pun, fenomena ini terbilang ajaib, atau mungkin unik. Dinasti Mamluk, sebagaimana ditunjukkan oleh namanya, merupakan dinasti para budak, yang berasal dari  berbagai suku dan bangsa menciptakan satu tatanan oligarki militer di wilayah asing.
Baybar menjadi Maluk agung yang pertama, penguasa dan pendiri sejati kekuasaan Mamluk. Satu cirri pemerintahan Baybar adalah banyaknya persekutuan yang ia hancurkan, baik dengan Mongol maupun Eropa.
Kekuasaan dinasti Ayyubiah di Mesir diambil alih oleh dinasti Mamalik. Dinasti ini mampu mempertahankan puast kekuasaannya dari serangan bangsa Mongol dan mengalahkan tentara Mongol itu di Ayn Jalut dibawah pimpinan Baybars. Meskipun bukan Sultan yang pertama Baybars (1260-1277M) dapat dikatakan sebagai pendiri sebenarnya dinasti ini. Sebagaimana Shalah Al-Din, ia juga pahlawan Islam terkenal dalam perang Salib. Pada masa itu, Kairo menjadi satu-satunya pusat peradaban Islam yang selamat dari serangan Mongol.








BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Mesir bukanlah sekedar wilayah geografis. Mesir adalah pencipta peradaban. Inilah yang menyebabkan Mesir dijuluki sebagai induk bumi (the mother of the earth). Negeri ini hanya berwujud sebuah garis tipis sepanjang lembah sungai Nil sementara sisanya merupakan gurun pasir yang tidak bisa dihuni. Persoalan bukan terletak pada luas daerah, melainkan pada semangat orang-orang yang menghuninya. Garis tipis tersebut menciptakan nilai-nilai moral, konsep monoteisme, kesenian, sains, dan sistem administrasi yang mengagumkan. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan rakyat Mesir bisa bertahan di saat kebudayaan negeri-negeri lain musnah.
Islam merekonstruksi karakter rakyat Mesir tanpa melenyapkan akar-akarnya. Pengaruh Islam pada rakyat Mesir melebihi apapun yang terjadi di Mesir sejak masa Fira’un.
Mesir memberi suara baru pada Islam. Mesir tidak mengubah prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, tapi budaya Mesir memberi sebuah nafas baru. Sesuatu yang tidak bisa ditemukan di tanah Arab. Mesir mengembangkan Islam yang moderat, toleran, dan tidak ekstrem.
Penduduk Mesir merupakan pemeluk yang saleh, tapi mereka tahu cara memadukan kesalehan dan kegembiraan, seperti yang telah dilakukan oleh nenek moyang di masa lampau. Rakyat Mesir merayakan hari raya dengan cerdas. Festival keagamaan dan bulan Ramadhan merupakan kesempatan untuk merayakan kehidupan.


DAFTAR PUSTAKA

Hitti, Philip K,  History Of The Arabs, Jakarta: Serambi, 2005

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), Jakarta: PT RajaGrafindo, 2007





[1] Badri Yatim, Sejarah Paradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2007), hal 281-282
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), hal 282
[3] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, (Jakarta: Serambi, 2005), hal 787
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), hal 282 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar